Kamis, 27 April 2023

CERPEN — KEPADA LANGIT DAN DUNIA

 KEPADA LANGIT DAN DUNIA


Serasa daun kering memecah kesunyian di pagi musim gugur yang hening. Seorang gadis melempar batu kecil di genggamannya ke kolam, entah sudah yang keberapa kalinya. Wajah gadis itu tanpa senyum.

"Tidak berguna." gumamnya pelan. "Percuma saja."

Dan gadis itu kembali melempar sebutir batu ke kolam. 

"Kalau kau hanya bergumam dan melempar batu seperti itu memang akan percuma." sahut sebuah suara.

Gadis itu seketika menoleh ke sumber suara, dan mendapati seorang gadis di atas kursi roda tersenyum ke arahnya. Penampilannya agak asing. Matanya sebiru safir, dan rambutnya berwarna pirang agak pucat sepanjang bahu.

"Kenapa kau menimpali? Bukan urusanmu!" tukas gadis itu sinis.

"Memang aku harus diam saja ketika melihat seseorang bergumam sendirian dan melempar batu seperti itu?" tanya gadis asing itu. Ia menggulirkan kursi rodanya mendekat. "Namaku Aria, kamu?"

"Luna." balas gadis itu pendek.

"Luna, kau... menyerah?"

Sedikit terkejut, Luna menoleh. "Kenapa bertanya seperti itu?”

"Kau..., terlihat putus asa," Aria menengadah ke arah langit. "Padahal harapannya masih banyak."

"Bukannya wajar di tempat seperti ini orang putus asa. Ini rumah sakit. Orang menyerah di sini itu wajar."

"Kenapa tidak mencoba terus berusaha?" tanyanya balik.

"Memangnya itu mengubah apapun? Di tempat seperti ini, mau berharap atau berusaha seperti apapun, tidak akan mengubah banyak. Kemungkinannya kecil."

Aria mengulas sebuah senyum. "Berusaha, meski hasilnya tetap sama. Setidaknya ada hal lebih yang dilakukan, kan?"

***

Awal musim gugur itu mengubah hidup Luna. Kecelakaan yang terjadi membuat Luna harus terkurung dan menjalani terapi di rumah sakit cukup lama. Tangannya cedera cukup parah. Setidaknya ia tak bisa keluar hingga musim dingin nanti tiba, yang artinya ia juga harus membatalkan keikutsertaannya dalam kompetisi. Luna harus mengubur mimpinya dalam-dalam. Selama di rumah sakit, Luna berpikir ia tak akan bisa menari dan berseluncur diatas es lagi. Ia merasa sudah tak punya harapan untuk itu.

Pendeknya, Luna menyerah.

Hingga Luna bertemu Aria. Gadis itu entah bagaimana caranya membuat setiap orang yang dekat dengannya merasa nyaman. Aria selalu tersenyum, meski wajahnya selalu terlihat pucat. Setahu Luna, Aria tinggal di paviliun A, paviliun yang ditempati oleh orang-orang yang menderita penyakit yang cukup parah.

"Aria, kenapa kau bisa selalu tersenyum? Kau sakit parah, kan?" tanya Luna satu hari.

"Yang sakit itu badanku, bukan jiwa atau hatiku, jadi aku baik-baik saja." jawab Aria sekenanya. Sementara Luna membisu mendengarnya.

"Nanti akan tau, kok." Aria mengeratkan syal di lehernya. "Ayo ikut! Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu." la menggulirkan kursi rodanya, sedang Luna mengikuti di sampingnya, masih membisu.

Ternyata Aria membawanya ke taman depan ruang inapnya, lebih tepatnya di bawah pohon di tengah-tengah taman itu.

"Kenapa di sini?" tanya Luna begitu Aria berhenti. Gadis itu menoleh, tersenyum.

"Ar-!" pekikan Luna tertahan saat melihat Aria tiba-tiba turun dari kursi rodanya dan dengan berpijak pada sebongkah batu. Ia berdiri dan menunjuk ke suatu arah. Tepatnya ke dahan pohon yang digantungi senar. Senar itu tersambung pada bohlam lampu kertas berisi seperti gulungan kertas coklat. Ada beberapa bohlam lampu tergantung di sana.

"Itu harapan-harapanku." kata Aria sebelum Luna bertanya. "Aku menulisnya, lalu memasukkan ke dalam bohlam dan menggantungnya. Agar aku selalu ingat, aku punya mimpi yang harus kuraih. Agar aku tak menyerah. Agar aku tau, untuk apa aku hidup di sini."

Aria menoleh pada Luna. "Aku tidak bisa berdiri terlalu lama, atau berjalan terlalu jauh. Tapi, aku ingin suatu hari aku bisa lepas dari kursi roda ini." Aria tertawa kecil. "Lihatlah! meskipun aku tak lama, aku tetap bisa berdiri sendiri." ujarnya riang sebelum kembali duduk di kursi rodanya.

Tawa Aria membuat Luna terdiam. Benar-benar membisu. Aria tak pernah menyerah dengan keadaannya, karena itulah ia bisa memandang dunia dengan penuh senyuman.

"Kudengar kau akan segera keluar dari sini, kapan?" tanya Aria sembari memperhatikan salju yang berguguran.

"Lusa, mungkin."

“Begitu, ya," Aria menghela nafas panjang. Ia kemudian meletakkan sesuatu di genggaman Luna. "Untukmu, karena mungkin kita tidak bertemu lagi."

"Kenapa?" tanya Luna spontan.

Aria menggeleng. "Saat kau keluar nanti, jangan menyerah, dan lanjutkan hidupmu seperti yang kau inginkan."

***

Salju berguguran lembut, melapisi setiap permukaan dengan putih. Bohlam lampu berisi kertas harapan itu dihiasi oleh bunga es yang membeku, membuatnya tampak indah sekaligus memilukan. Bohlam lampu yang berisi harapan itu masih setia tergantung di dahan pohon itu, pohon yang menjadi saksi akan harapan-harapan seorang gadis bermata safir, bernama Aria.

Luna menghela nafas. Lima tahun sudah berlalu sejak ia dan Aria bertemu yang terakhir kali. Hari ini, saat ia mencoba mencari rumah Aria, ia mendapati rangkaian bunga duka yang berjejer di mukanya. Aria sudah pergi, tepat sehari yang lalu. Ia terlambat satu hari.

"Aria dulu pendiam, padahal punya banyak bakat. Sejak ia sakit, ia sering menggantungkan harapannya di pohon depan ruangan tempat ia dirawat. Tapi sesungguhnya, yang membuat Aria bangkit adalah dirimu, Luna. Dia ingin membuktikan padamu, ia baik-baik saja, meski sakit ia bisa tetap bahagia. Karenamu, dia melakukan operasi, dan akhirnya ia bisa melakukan apapun yang ia mau. Belajar, bermain biola, menari, dan pergi ke tempat yang ia inginkan. la tak pernah melupakanmu, karena kamu yang membuatnya terus berusaha. Hingga akhir hidupnya, ia tidak menyesal karena ia telah meraih semua mimpinya."

Kata-kata ibu Aria terus terngiang di benak Luna. Luna merasa konyol, karena Aria-lah yang sebenarnya memotivasinya untuk tetap berusaha dan tak menyerah.

Luna kembali menatap bohlam lampu di tangannya, itulah benda yang diberikan Aria lima tahun lalu. Luna berniat menaruhnya ke tempat yang seharusnya, bersama harapan Aria yang lainnya.

'Kepada langit dan dunia,

Aku ingin hidup, dan pergi tanpa penyesalan.'



Share:

Jumat, 04 November 2022

Kamis, 06 Oktober 2022